Patarai, Dr. H. Muhammad Idris (2015) Desentralisasi Pemerintahan dalam Perspektif Pembangunan Politik di Indonesia. Cetakan ke-2, 1 (-). DE LA MACCA, Makassar. ISBN 978-602-263-088 3
There is a more recent version of this item available. |
|
Text
DESENTRALISASI PEMERINTAHAN DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN POLITIK DI INDONESIA.pdf Download (3MB) | Preview |
|
|
Text
Hasil Peer Review Buku Desentralisasi Pemerinlahan Dalam Perspektif Pembangunan Politik di Indonesia.pdf Download (910kB) | Preview |
Abstract
Desentralisasi dalam Perspektif Pembangunan Politik mencoba menggambarkan dinamika pemerintahan daerah di Indonesia yang sama tuanya dengan pemerintahan Indonesia itu sendiri, satu kesatuan tidak terpisahkan. Asas desentralisasi pemerintahan daerah di Indonesia itu sesuatu yang unik, seakan tidak pernah selesai dan tidak pernah sesuai, baik dari segi format penyelenggaraan maupun implementasi dan pencapaian. Spektrum pemerintahan daerah itu seperti ruang tanpa batas, gerakannya tidak pernah menyentuh sisi sisi yang pas.Hal tersebut merupakan gambaran betapa tingginya dinamika kebutuhan daerah, dinamika politik di daerah hingga hampir menyentuh negara serikat modern, posisi daerah laksana federasi, sebagai satu solusi.Bagaimana hal ini diamati dalam kacamata (perspektif) pembangunan Politik Indonesia telah memasuki lima priode konstitusi dan amandemen Undang Undang Dasar. Hal ini turut mewarnai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Lima periode konstitusi tersebut tidak terlepas dari gangguan luar sebagai satu negara yang baru merdeka, dinamika politik dalam negeri juga merupakan satu faktor yang turut mempengaruhi. Bersamaan dengan pergantian konstitusi itu pula disusul terbitnya undang undang mengenai pemerintahan daerah. Bahkan pada satu konstitusi pergantian undang undang yang mengatur pemerintahan daerah terjadi berulang ulang, termasuk penggantian undang undang dengan peraturan pemerintah pengganti undang undang. Hingga saat ini kita telah mengenal tidak kurang dari 9 (sembilan) undang undang termasuk Penpres dan Perpu pemerintahan daerah. Sembilan peraturan perundang undangan pemerintahan daerah itu masing masing dengan nomenklatur berbeda. Apabila dikaji secara cermat, maka dapat disimpulkan bahwa pergantian undang undang itu tidak merupakan penyempurnaan dari satu undang undang kepada undang undang sebelumnya, bahkan tidak ditemukan konsistensi dan kesinambungan. Hal ini mengindikasikan bahwa pergantian undang undang itu tidak pada tataran perbaikan tata penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan atas orientasi politik, sehingga dapat dikatakan hingga saat ini sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah belum menemukan bentuk dan postur yang tepat. Indonesia yang majemuk atau sangat plural adalah fakta yang menjelaskan penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak tepat untuk digeneralisir dalam satu undang undang. Pertanyaannya apakah satu daerah diatur dengan satu undang undang yang spesfik, kiranya tidak seekstrim itu. Satu undang undang penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat umum cukup ditindaklanjuti dengan peraturan daerah yang spesifik. Kenapa demikian, karena tidak dapat dipungkiri bahwa semua daerah di Indonesia berasal dari latar belakang sejarah yang berbeda, kebutuhan berbeda, jangkauan pemikiran berbeda, potensi daerah berbeda sehingga tidak cukup diselesaikan dengan kebijakan makro. Kebijakan mengenai keuangan dalam bentuk transfer fiskal misalnya berdampak pada belanja daerah yang tidak sesuai, kerumitan distribusi dengan segala macam kasus berdampak pada daerah yang selalu bergantung secara ekonomi seiring dengan kebutuhan politik atas nama negara kesatuan. Pertanyaan yang tidak pernah terjawab apabila kebutuhan daerah diselesaikan dengan undang undang yang tidak mampu mengapresiasi aneka ragam seluk beluk kehidupan di daerah yang tidak dapat dirinci adalah kesejahteraan masyarakat. Secara sosiologi kehidupan masyarakat tidak dapat diformat dengan undang undang pemerintahan daerah yang mengkerdilkan daerah, atau bahkan dengan undang undang yang memberi keleluasaan yang besar tanpa kerangka moral yang menyertai dalam satu doktrin idiologis. Terdapat beberapa hal yang patut ditolerir bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni: diskresi atau keleluasaan daerah, diferensiasi atau kemampuan pusat memahami keanekaragaman daerah, dan integrasi dalam tatanan ideologi. Paradigma ini kemudian ditindaklanjuti dengan kebijakan desentralisasi pemerintahan daerah, managemen pembangunan daerah yang tepat yang terpola dari paradigma pembangunan yang dianut secara nasional; birokrasi dengan kepemimpinan yang adaptif, pemimpin yang merupakan representasi dari satu mekanisme pemilihan yang bermartabat. Pemilihan kepala daerah yang merupakan implementasi desentralisasi politik diakui berdasarkan berbagai penelitian dan pengkajian telah menyebabkan terjadinya inovasi sosial (best practicies) penyelenggaraan pemerintahan yang baik di daerah dewasa ini, sekalipun menghadapi kendala kendala berupa rendahnya kemampuan fiskal dan lemahnya kemampuan birokrasi yang tidak efektif bagi intensitas inovasi tersebut. Berbagai kebijakan yang telah didesentralisir ke daerah, antara lain desentralisasi fiskal, desentralisasi politik, sebagaimana telah dikemukakan, namun tidak memiliki kerangka landasan yang kuat dari produk tahapan tahapan pembangunan politik. Pemilihan kepala daerah langsung telah melompati beberapa fase yang harus dipenuhi sebelumnya, sebagai akibatnya banyak kita jumpai pemilihan kepala daerah berakhir di Mahkamah Konstitusi karena adanya masalah masalah money politic, ketidakadilan penyelenggaraan, pelanggaran yang disinyalir terstruktur dan massif. Semua ini karena pengaruh ketidaksiapan infra struktur masyarakat di daerah berupa rendahnya kesadaran politik seiring dengan rendahnya tingkat kesejahteraan. Jawaban atas gugusan masalah yang dihadapi adalah kebijakan desentralisasi tidak dapat dipisahkan dengan outcome pembangunan politik yang memberi impact politik. Selain itu desentralissi di Indonesia masih membutuhkan kerjasama dari semua pihak sebagai bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Patut dikemukakan bahwa berdasarkan kondisi empirik, selama ini yang menganut asas desentralisasi hanyalah pemerintah, sektor swasta belum, setidaknya belum sinkron, belum ada keterpaduan dari sektor ini sekalipun mungkin mereka telah memiliki pendekatan atau pola managemen swasta yang relevan dengan azas desentralisasi, namun di lapangan penjabarannya masih sendiri sendiri. Tahap terakhir dari satu proses pembangunan politik satu bangsa adalah politik berkelimpahan, seperti telah disebutkan, yakni satu fase dimana pemerintah telah berada pada posisi regulator dan administratur. Namun kondisi ini akan berhasil diterapkan setelah melampaui beberapa fase sebelumnya, yaitu fase unifikasi primitif, fase industrialisasi dan fase kesejahteraan. Pada fase politik berkelimpahan, pola desentralisasi pemerintahan yang relevan bukan lagi desentralisssi yang bersifat struktural sebagaimana selama ini diterapkan dari masa ke masa, mulai dari masa penjajahan hingga kemerdekaan dan dengan undang undang yang telah silih berganti. Desentralisasi yang relevan pada tahap politik berkelimpahan adalah desentralisasi kultural, dimana sektor swasta (privat cektor) dan masyarakat sipil (civil society) telah menerapkan pola pola pelimpahan kewenangan yang terbangun dari karakter saling percaya (trust atau mutual respect), transparansi, demokratisasi dan jaminan atas hak hak sipil atau masyarakat. Kenyataan lain menunjukkan bahwa dewasa ini penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya proses pemilihan kepala daerah langsung dilakukan pada basis masyarakat yang belum siap secara sosial, politik dan ekonomi yang akibatnya mencederai demokrasi itu sendiri. Pertanyaannya kemudian apakah desentralisasi yang membentuk politik berkelimpahan ataukah politik berkelimpahan yang membentuk desentralisasi? Sebagian jawabannya mungkin bisa diperoleh pada buku Desentralisasi Pemerintahan Dalam Perspektif Pembangunan Politik di Indonesia.
Item Type: | Book |
---|---|
Subjects: | J Political Science > JA Political science (General) |
Divisions: | Campus > IPDN Kampus Sulawesi Selatan |
Depositing User: | Dr Idris Patarai |
Date Deposited: | 02 Mar 2021 02:50 |
Last Modified: | 29 Mar 2021 02:20 |
URI: | http://eprints.ipdn.ac.id/id/eprint/5861 |
Available Versions of this Item
- Desentralisasi Pemerintahan dalam Perspektif Pembangunan Politik di Indonesia. (deposited 02 Mar 2021 02:50) [Currently Displayed]
Actions (login required)
View Item |