ARUNG PALAKKA SANG FENOMENAL

Patarai, Dr. H. Muhammad Idris (2016) ARUNG PALAKKA SANG FENOMENAL. In: ARUNG PALAKKA SANG FENOMENAL. -, 1 (-). DE LA MACCA, Makassar, pp. 1-111. ISBN 978-602-263-089 0

WarningThere is a more recent version of this item available.
[img]
Preview
Text
ARUNG PALAKKA SANG FENOMENAL.pdf

Download (3MB) | Preview
[img]
Preview
Text
Hasil Peer Review Buku Arung Palakka Sang Fenomenal.pdf

Download (1MB) | Preview

Abstract

Masih segar dalam ingatan saya ketika Gubernur Sulawesi Selatan , Prof.DR.Ahmad Amiruddin membuka seminar nasional Arung Palakka, 28 Desember 1992, di Aula Kantor Bupati Bone yang kelak menjadi Aula Arung Palakka. Ketika itu Saya dalam kedudukan sebagai Anggota DPRD Bone dan direkrut menjadi salah seorang panitia. Gubernur dalam sambutan tidak tertulis menyatakan: Sejarah ibarat sebuah kereta yang berlari kencang, jika kita tidak segera melompat ke dalamnya, kita akan tertinggal. Apakah beliau menyetir pendapat ahli atau tidak dan makna apa yang ada dibalik pernyataan itu masih saya raba-raba hingga saat ini. Namun saya menduga waktu itu, dan menangkapnya bahwa beliau ingin menyampaikan: Pertama, sejarah hanya sekali terjadi, setelah itu dia telah berlalu dan menulis dirinya seperti apa adanya dan tidak bisa dikutak-katik orisinalitasnya. Kedua, sejarah itu berlari dan ketika kita tidak melompat ke dalamnya, maka kita telah ditinggalkan. Seminar pada hari itu sudah barang tentu mencoba meletakkan orisinalitas sejarah dan mengajak yang hadir atau kita yang saat ini membaca buku ini untuk mensejarahkan diri atau menyerah. Arung Palakka tidak dapat disentuh dengan hitamputih: “pahlawan atau penghianat”, tidak dengan dikotomi yang demikian, ataupun membolak balikan fakta sejarah, menumpangi sejarah mempertentangkannya dengan Sultan Hasanuddin tanpa melihat jamannya, abad ke-17. Pada abad itu terdapat banyak kerajaan lokal yang mengalami proses rivalitas dan perjuangan mempertahankan eksistensinya, dalam hal ini terdapat hegemoni kerajaan besar: Gowa dan Bone. konflik antara kerajaan ini dimanfaatkan Belanda (VOC) untuk melebarkan kekuasaannya pada kerajaan lokal yang dinilai menguntungkan, lalu mengerahkan politik devide et impera, sebagaimana disinyalir oleh Sarita Pawiloy, Arung Palakka terhisap pusaran politik Belanda. Suatu strategi diperankan kerajaan Bone pada tahun 1582 menghadapi kerajaan Gowa, yakni perjanjian tiga kerajaan Bugis, Tellu Pocco-e yang lazim disebut Lamumpatue ri Timurung. Perjanjian ini dikenal dengan upaya menghambat Gowa melakukan ekspansi ke kerajaan Bugis. Sekalipun Luwu tetap setia pada Gowa, Wajo dan Soppeng berhasil dimasukkan dalam persekutuan Bone, demikian menurut Prof. DR. Abu Hamid. Pada satu sisi Gowa sebagai saingan Bone mengalami perkembangan hubungan dengan kerajaan luar, hingga ketika Islam masuk di Gowa tahun 1605 mengalami proses pemantapan hingga 1608, hal ini kemudian disinyalir sebagai sebab baru ekspansi Gowa, namun tujuannya tetap sama hegemoni, Gowa atau Bone. Sekalipun Latenriruwa (nenek Arung Palakka) telah bersedia masuk Islam sebagaimana halnya Gowa, namun rakyat Bone tidak bersedia. Hal ini disebabkan karena penyebaran agama itu dibawa atau atas desakan Gowa, dimana rakyat Bone menolak pengislaman yang yang dilakukan Gowa. Kerajaan Gowa yang memiliki perdagangan yang maju, memiliki pelabuhan strategis menghadapi gangguan baru, yakni dari Kompeni Belanda. Pernyataan perang atas Gowa dinyatakan oleh J.P.Coen pada 1616 dipicu oleh peristiwa pembunuhan anak kapal Belanda di pelabuhan Somba Opu. Kemarahan Belanda menjadi kronis yang berujung pada permintaan Belanda pada Sultan Hasanuddin untuk menyerahkan orang-orang yang telah membunuh awak kapal Belanda itu. Namun demikian permintaan penyerahan itu ditolak oleh Kerajaan Gowa, demikian halnya pemberian emas dari Gowa sebagai tebusan atas kematian awak kapal Belanda itu ditolak pula oleh Belanda, alternatifnya adalah perang. “Hutang darah – bayar darah”, seperti dikemukakan Sultan Hasim dalam makalahnya. Bone sendiri telah masuk control Gowa sejak 1611-1631. Arung Palakka, La Tenritatta yang mengalami proses pendewasaan di Gowa sebagai tawanan perang secara tidak langsung mengalami pula proses sosialisasi dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga peristiwa demi peristiwa terekam dengan tajam dalam benaknya, termasuk keprihatinannya terhadap rakyat Bone yang diperbudak Gowa. Kepedihan Arung Palakka memuncak, ketika kematian ayahnya tanpa sebab dan kematian pamannya yang mengerikan membuatnya melarikan diri bersama pengikutnya. Bermula dari sini terbentuk pasukan perlawanan Bone di bawah pimpinan La Tenritatta. Pasukan ini kemudian, setelah diefektifkan, menyertai Arung Palakka, ke Buton selanjutnya ke Batavia. Sebelum meninggalkan Bone, Arung Palakka mengikrarkan sumpah di Cempalagi, sumpah yang terkenal dengan “loko” itu lahir atas kepedihan melihat penderitaan rakyat Bone. Sumpah itu tidak lain adalah janji Arung Palakka melakukan pembalasan kepada “senggeng pali-e ri Gowa”, penguasa atau raja Gowa. Bermula dari sini Arung Palakka tidak bisa dimaklumi oleh sejarah. Keberangkatannya ke Batavia dalam rangka menjalin kerjasama dengan Belanda menghadapi dan mengimbangi Gowa, yang juga adalah musuh Belanda. Menjelang beberapa tahun keberadaan pasukan La Tenritatta di Batavia baru mendapat kepercayaan dari kompeni Belanda setelah melalui percobaan, termasuk membantu Belanda dalam peperangan antara lain di Pariaman. Begitulah pula Sultan Mandarsyah, Ternate dan Sultan Buton kepada Belanda, agar membantu pasukan Arung Palakka tersebut. Kedua Sultan bersimpati pada perjuangan La Tenritatta melepaskan penjajahan Gowa atas negerinya dan berjanji akan membantu pula bila kompeni bersedia memberi bantuan. Cita-cita La Tenritatta melakukan kerjasama kompeni ini adalah agar Gowa dilibatkan masuk dalam perundingan untuk membuat janji melepaskan semua daerah penguasaannya, terutama di daerah Sulawesi Selatan. Selama keberadaaan pasukan La Tenritatta di Batavia kerap kali datang surat dari Sultan Hasanuddin kepada kompeni agar menyerahkan pasukan bugis itu kepadanya. Perang terbuka melawan Gowa berlangsung kurang lebih satu tahun bila dihitung sejak pasukan Belanda bersama pasukan La Tenritatta dan 578 serdadu Ambon bergerak ke pulau Sulawesi di bawah pimpinan Lasksamana Speelman bulan November 1666, sampai Sultan Hasanuddin mengajukan perjanjian damai yang kelak dikenal dengan Perjanjian Bongaya, ditandatangani Jumat tanggal 18 November 1667, sekalipun perang yang dikobarkan Belanda di bawah pimpinan C.Speelman berhadapan dengan Gowa di bawah pimpinan Karaeng Bontomarannu berakhir pada tanggal 4 Januari 1667. Fenomena Arung Palakka kemudian dinilai sebagai orang yang berjasa mengembalikan martabat Bone dan berjasa pada Belanda menanamkan penjajahannya di nusantara. Melalui perjanjian Bongaya, Bone dikembalikan kehormatannya, Sumpah Arung Palakka di Cempalagi terkabul. Sejak itu Bone bebas dari Gowa, namun Belanda mulai menanamkan penjajahannya di Sulawesi Selatan, termasuk menjajah Bone sepeninggal Arung Palakka. Pasal 18 Perjanjian Bongaya (Cappaya ri Bongaya) atau oleh Belanda menyebutnya “Het Bongeisch verdrag”, ”Pemerintah Kerajaan Gowa harus melepaskan kekuasaannya atas kerajaan Bone dan kerajaan Luwu dan harus berjanji akan memerdekakan Datuk Soppeng, La Tenribali dari pengasingannya”. Setelah perjajian Bongaya itu La Tenritatta tidak lagi bergairah memerangi benteng Somba Opu Istana Sultan Hasanuddin, sekalipun pada tahun 1669 Speelman menyerang benteng Somba Opu yang mendapat bantuan dari serdadu dari Batavia dan serdadu Ambon. Dengan demikian peranan La Tenritatta pada perang kedua ini amat kecil sekali. Nampaknya kepentingan La Tenritatta memerangi Gowa adalah untuk memerdekakan Bone, berbeda dengan kepentingan Belanda yaitu untuk menguasai Gowa. Kedua belah pihak mempunyai kepentingan berbeda dalam satu misi. Pada akhirnya para tokoh adat dan petinggi kerajaan Bone mempersembahkan mahkota kerajaan Bone kepada La Tenritatta setelah wafatnya La Maddaremmeng dan bergelar Arung Palakka. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1672. Dengan demikian La Tenritatta Datuk Mario Arung Palakka Petta Malampe’e Gemme’na Torisompa-e menjadi raja Bone ke 15, yakni antara tahun 1672-1696. Setelah Arung Palakka mengalahkan Gowa dan diangkat menjadi Mangkau ri Bone, beliau berusaha mempersatukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan melalui kekuasaan yang ada padanya dan pusat pemerintahannya di Bontoala. Pada titik ini sejarah hendaknya menoreh andaikan Arung Palakka memiliki sedikit waktu dalam sejarah hidupnya menghadapi Belanda, sekalipun beberapa tindakan Arung Palakka memperlihatkan pembangkangan terhadap Belanda dalam kedudukan Arung Palakka sebagai kordinator kerajaan Bugis, “De Koningh Der Bugies”, gelar yang dianugerahkan Belanda yang enggan dipakainya sebab Arung Palakka menyadari kedudukan demikian berarti dia senantiasa akan diperhadapkan dengan Gowa. Belanda dapat saja memanfaatkan pertentangan dua kerajaan besar tersebut sesuai kepentingannya. Kesadaran ini membuat kedua belah pihak senantiasa menyelesaikan pergolakan politik secara bersama. Ini tersurat dalam makalah yang disajikan Edward L. Poelinggomang. Arung Palakka sesungguhnya dapat mencitrakan dirinya sebagaimana citra Teuku Umar di Aceh yang gugur dalam perang sabit menghadapi Belanda, sekalipun sebelumnya Teukur Umar bukan hanya berperang dan berada di pihak Belanda tetapi pun pernah menjadi orang kepercayaan dan penasehat Belanda. Makna ini tersifat secara jelas diinginkan oleh Dr. Muklis Paeni dalam makalahnya “Citra Perjuangan Arung Palakka”. Arung Palakka tidak sempat menjangkau bentuk lain dari perjuangannya yang mencintai dan berjuang memulihkan martabat rakyat Bone. Adalah hal yang meski untuk kita pertentangkan kini, kehadiran sosok Arung Palakka dengan Sultan Hasanuddin, naïf diperhadapkan sebagaimana naifnya dua figur mendapatkan gelar pahlawan nasional yang pada jamannya keduanya berperang mempertahankan sikap harga diri dan kepentingan masing-masing. Semestinya zaman harus menjawab harapan Sultan Kasim yang membariskan kalimat “Seharusnya Gowa menjadikan kawan atau sekurang-kurangnya mendekati negaranegara di nusantara untuk bersama-sama menentang imperialisme Barat”. Perang Makassar antara VOC dengan Gowa adalah persaingan ekonomi, penguasaan jalur perdagangan di laut. Keterlibatan Arung Palakka dalam perang itu membalas dendam dan membebaskan ketertindasan orang Bone oleh Gowa. Hal ini tidak lepas dari rekaman sejarah tetapi tidak diterima sebagai satu kewajaran sebagai visi perjuangan Arung Palakka karena tidak seirama suasana zaman di abad ke 17 yang ketika itu diwarnai perang antara kekuatan-kekuatan lokal melawan kekuatan asing. Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dinilai sebagai tema baru perluasan kekuasaan, mempertinggi wibawa dan martabat Gowa, memberi gambaran keraguan kerajaan bugis menerima Islam, gambaran traumatik pada beberapa peristiwa perang dan penaklukan sebelumnya yang dilakukan oleh Gowa terhadap kerajaan-kerajaan bugis, bahkan ditanggapi untuk memecahkan ikrar Tellu Pocco-e antara Bone, Wajo dan Soppeng. Hal ini kemudian menyebabkan proses pengislaman kepada beberapa kerajaan Bugis melalui kekerasan, perang, ini pun kemudian meninggalkan luka di hati yang mendalam bagi para korban perang. Keberhasilan Gowa menyebarkan Islam bukan hanya meningkatkan ketenarannya di dalam menguasai jalur perdagangan menghadapi orang-orang Eropa di Sulawesi Selatan, bahkan sampai pada sekitar laut Jawa dan Maluku atau pada daerah di pesisir utara pantai Sulawesi seperti Donggala, Gorontalo dan Manado. Kebesaran dan keperkasaan Gowa membuatnya ingin menjadikan dirinya sebagai “polisi” bagi kerajaankerajaan lain dalam rangka menciptakan stabilitas mengamankan kepentingan ekonomi. Keraguan menerima Islam yang disebut oleh Gowa atas anggapan sebagai pendekatan baru Gowa mengembangkan kekuasaannya terbukti. Serangan Gowa kepada Bone, kala itu di bawah kepemimpinan raja Bone La Maddaremmengyang ingin menegakkan ajaran Islam, khususnya mengenai perbudakan, yang diserukan sendiri oleh Gowa. Kekalahan La Maddaremmeng raja Bone dalam perang menghadapi Gowa itu menjadi penyebab Bone jatuh ke tangan Gowa. Bone pun menjadi kerajaan jajahan dan ketika itu diperintah oleh “Jannang”, Tobala Arung Tanete. Ketika itu Latenriaji melakukan perlawanan terhadap Jannang Tobala yang diangkat sebagai penguasa oleh rakyat Bone menimbulkan kemarahan Gowa, menciptakan perang yang berakhir dengan kekalahan Latenriaji dan mewariskan tawanan perang, termasuk La Tenritatta yang ketika itu baru berusia sekitar Sembilan tahun yang kemudian diangkat sebagai pengawal pribadi oleh raja Gowa Karaeng Patingalloang. Pemahaman terhadap citra Arung Palakka yang dalam pergolakan hidupnya bukan hanya menjadi raja Bone ke 15, tetapi figure yang telah memerdekakan Bone dari Gowa akan mengajak kita berpikir dan agar memiliki “jiwa zaman” (zeitgeist) tentang apa yang ada dalam pikiran dan benak Arung Palakka, agar penulis sejarah tidak melakukan anakronisme, melakukan tafsiran yang tidak sesuai ruang dan waktu sejarah. Sayangnya sejarah hanya dapat menyentuh halhal yang terjadi, tidak dapat merekam suasana batin yang ada dibalik suatu peristiwa, dan realitas itulah kemudian secara telanjang menguasai penulisan sejarah “Arung Palakka Penghianat dan kaki tangan Belanda”. Lembaga pendidikan formal bidang studi sejarah mengajarkan hal demikian dan telah membentuk pendapat umum seperti itu. Apakah ini berarti kita telah memandang kenyataan sejarah dengan kacamata nasional dan melihatnya pada bagian permukaan saja. Tidak ada pengkajian dan penelitian tentang latar belakang persekutuan antara kerajaan Bone dengan kompeni Belanda dari berbagai disiplin. Ataukah memenggalnya dalam pandangan sejarah kontemporer atau sejarah partial nasional. Tidak heran jika paradoks pandangan antara masyarakat pada masa kemerdekaan dengan masyarakat pada masa colonial terhadap “strunggle integrity” Arung Palakka cenderung menimbulkan pertanyaan yang fenomenal. Hal ini akan menarik bila kita mengkaji Bone sejak berdirinya pada tahun 1330 sebagai independent state hingga ditaklukkan Gowa tahun 1611. Status kerajaan Bone sebuah kekuasaan politik di nusantara dapat disetarakan dengan kerajaan-kerajaan lain di nusantara waktu itu. Bagaimana kita memahami kondisi ini dengan meletakkannya sebagai dasar pijakan dan titik tolak Arung Palakka memerdekakan Bone dari Gowa yang telah memerangi Bone sejak tahun 1562. Penjajahan Gowa atas Bone adalah sebuah fakta sejarah yang di dalam lontara disebutkan “Naripuatana Bone seppuloh pitu taungittana”. Berbagai perlawanan demi perlawanan Bone untuk memerdekakan diri akhirnya bermuara pada persekutuan Bone dengan Kompeni. Tidakkah persekutuan ini dapat dipandang sebagai sikap politik Arung Palakka yang bukan hanya kebetulan pemimpin perlawanan rakyat Bone tetapi juga mendapat dukungan dari hadat Tujuh Bone. Adalah sangat berbeda apabila Arung Palakka menggulingkan satu kekuasaan yang sah melalui bantuan kompeni, sebagaimana dialami Sultan Haji di Banten untuk merebut tahta kerajaan dari tangan ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa. Sikap politik Arung Palakka yang demikian itu bisa terjadi atas dukungan kerajaan-kerajaan lain yang merupakan pula musuh kerajaan Gowa, yakni Buton dan Ternate. Demikian halnya dengan pembelokan militer yang tiba-tiba bergabung dengan pasukan Arung Palakka sebanyak 5000 personil dan 86 perahu armada dari orangorang Bugis Bone dan Soppeng yang sebelumnya adalah angkatan perang Gowa. Perjuangan Arung Palakka mendapat dukungan dari para bangsawan dan hulu balang Bone dan Soppeng melalui ikrar di Pattoro untuk membantu perjuangan Arung Palakka. Perjuangan Arung Palakka adalah perjuangan kolektif dan sistematik, sebuah perjuangan yang memiliki legitimasi moral bagi upaya mempertahankan eksistensial diri atau kelompok. Sejarah yang memandang persekutuan itu dalam perspektif kekinian dan melepaskannya dari segenap bingkai waktu, emosi dan perasaan. Patut dipahami pandangan filsafat yang menyatakan bahwa apa yang berlangsung dalam dunia kehidupan sehari-hari jauh lebih daripada hanya fakta sosial atau sejarah (quaestio facti) melainkan bahwa disana pun rasionalitas berperan dengan mempermasalahkan kesahihan (quaestio iuris). Perjanjian Bongaya merupakan akhir perang antara Gowa dengan sekutu Bone, Buton, Ternate dan kompeni dapat menjadi titik pijak memahami perjuangan Arung Palakka memerdekakan Bone butir penting perjanjian itu, antara lain: Buton, Ternate, meliputi Pulau Sulawesi, Selayar, Muna Utara Bone, Luwu dan Soppeng lepas dari Gowa serta melepaskan Raja Layu, Bangkala dan semua negeri-negeri yang dikalahkan sekutu Arung Palakka. Akhir peperangan itu tidak hanya dapat memerdekakan kerajaan Bone dari Gowa yang kemudian Arung Palakka menjadi raja Bone menggantikan La Maddaremmeng, tetapi juga sebagai kordinator daerahdaerah pendudukan yang berkedudukan di Bontoala dan dari sinilah Arung Palakka mempersatukan kerajaankerajaan di Sulawesi Selatan. Kerajaan Bone sendiri pada saat itu mengalami suatu masa yang disebut sebagai “Wettutepu Kettenna Bone” (Waktu bulan purnamanya Bone). Arung Palakka yang kesohor itu digantikan oleh kemenakannya sendiri sebagai raja Bone ke 16 La Patau Matanna Tikka dengan mewasiatkan konsep persatuan dan kesatuan kerajaan, kelompok masyarakat di Sulawesi Selatan. Namun kepopuleran Arung Palakka itu berlangsung hanya sebelum kemerdekaan. Sesudah Indonesia merdeka Arung Palakka dikategorikan sebagai “kaki tangan Belanda, penghianat bangsa” yang berawal dari peristiwa yang berlangsung pada abad ke 17 dimana pada saat itu setiap negara berusaha membesarkan negaranya, menyusun pemerintahannya dan menjaga stabilitas negaranya, menjalin hubungan kerjasama di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan serta dalam abad itu pula terjadi perang antara kerajaan untuk memperluas batas-batas wilayah dan jalur perekonomian masing-masing. Sejarah memahami kejadiannya, kita yang masih hidup mengartikulasikan sesuai yang kita pahami. Manusia memang tidak menciptakan kebenaran, hanya menemukan kebenaran hakiki yang telah ada, dan itu pada kausa prima. Mari kita bijak memberi pencitraan sesuai tuntutan normatif empirik, tapi tidak dengan menepiskan yang lain yang dapat kita tempatkan pada proporsinya serta tidak memetakan pertentangan secara berkelanjutan. Bagaimanapun, sejarah telah melahirkan fakta empiris dan yang tersisa adalah Arung Palakka dimakamkan di pemakaman raja-raja Gowa atas permintaan raja Gowa, Sultan Abdul Djalil, suatu pertanda kedamaian. Tantangan mempersatukan, independensi, kemerdekaan, harga diri, siri dan pesse. Arung Palakka hidup pada zamannya. Kitalah yang menginterpretasikan atau menghakiminya.Semua hal yang dikemukakan pada pengantar buku ini dapat dibaca pada tulisan para sejarawan Nasional dan Daerah yang dipresentasikan pada seminar yang dilaksanakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bone. Editor merangkumnya agar sejarah tidak tercecer dan terlupakan.

Item Type: Book Section
Subjects: C Auxiliary Sciences of History > CT Biography
Divisions: Campus > IPDN Kampus Sulawesi Selatan
Depositing User: Dr Idris Patarai
Date Deposited: 19 Feb 2021 03:41
Last Modified: 29 Mar 2021 01:54
URI: http://eprints.ipdn.ac.id/id/eprint/5832

Available Versions of this Item

Actions (login required)

View Item View Item